Dalam kehidupan pernikahan, sering kali kita mendengar ungkapan, “Terimalah saya apa adanya.” Namun, apakah filosofi ini benar-benar sehat untuk hubungan jangka panjang? Menurut Oma Cun, seorang konselor pernikahan dengan pengalaman 40 tahun, menerima pasangan apa adanya justru bisa menjadi bumerang jika tidak disertai dengan kesediaan untuk berubah dan bertumbuh.
Dalam podcast Wellspring Conversations, Oma Cun berbagi kisah hidupnya, termasuk pernikahannya yang bertahan 60 tahun dan pengalamannya membesarkan anak dengan kebutuhan khusus. Dari perbincangan tersebut, terungkap pelajaran berharga tentang komitmen, kedewasaan emosional, dan seni mempertahankan rumah tangga yang harmonis.
1. “Terimalah Saya Apa Adanya” vs. Kesediaan Berubah
Banyak orang menganggap bahwa pasangan ideal adalah yang menerima segala kekurangan mereka tanpa syarat. Namun, Oma Cun menegaskan bahwa pernyataan “terimalah saya apa adanya” sering kali menjadi tameng bagi orang yang enggan berubah.
“Itu orang yang tidak mau berubah. Padahal, semakin kita dewasa, kita harus belajar menerima orang lain apa adanya, bukan memaksa orang lain menerima kita tanpa perubahan,” ujarnya.
Poin Penting:
- Kedewasaan ditandai dengan kemampuan mengalah, sabar, dan berkomitmen untuk memperbaiki diri.
- Hubungan yang sehat membutuhkan usaha aktif dari kedua belah pihak, bukan hanya pasif menerima.
2. Memilih Pasangan: Cinta Harus Timbal Balik
Oma Cun memberikan nasihat tegas terutama untuk perempuan:
“Jangan menikah dengan lelaki yang kamu senangi luar biasa, tapi dia tidak mencintaimu. Lebih baik menikah dengan orang yang mencintaimu setengah mati, meski awalnya perasaanmu biasa saja.”
Alasannya:
- Pernikahan dengan ketimpangan perasaan cenderung melelahkan dan rentan konflik.
- Cinta yang tumbuh dari keputusan (bukan sekadar perasaan) sering kali lebih tahan uji.
Contoh nyata adalah pernikahan Oma Cun sendiri yang bertahan 60 tahun. Meski awalnya tidak didasari ketertarikan intens, komitmen dan kesediaan saling mengisi membuat hubungan mereka langgeng.
3. Kedewasaan vs. Umur: Tidak Semua yang Tua Bijaksana
Salah satu kalimat paling menusuk dari Oma Cun adalah:
“Banyak orang tua yang umurnya bertambah, tapi kedewasaannya tidak.”
Ciri Orang Tidak Dewasa:
- Insecure dan butuh validasi terus-menerus.
- Egois, sulit mengalah, dan selalu ingin menang sendiri.
- Narsistik, karena luka batin masa kecil (misalnya, kurang kasih sayang).
Solusi:
- Belajar positive thinking dan fokus pada memberi, bukan menerima.
- “Forgive, not forget” — memaafkan tanpa melupakan, tetapi tidak lagi merasakan sakit.
4. Konflik dengan Mertua? Ini Kuncinya!
Konflik dengan mertua adalah salah satu penyebab perceraian. Oma Cun menawarkan perspektif unik:
“Dulu, menantu yang harus mengalah. Sekarang, mertua yang harus belajar ngalah. Kalau tidak, anakmu bisa hilang dari hidupmu.”
Tips Menjaga Hubungan dengan Mertua:
- Generasi tua perlu memahami dinamika zaman sekarang.
- Generasi muda harus menghormati, tetapi juga tegas menetapkan batasan.
**5. *Pelajaran dari 60 Tahun Pernikahan*
Rahasia pernikahan Oma Cun:
- Jadilah pelabuhan yang tenang — tempat pasangan dan anak-anak bisa pulang dengan nyaman.
- Fokus pada solusi, bukan menyalahkan.
- Hidup untuk menjadi berkat — nilai pernikahan bukan hanya kebahagiaan pribadi, tetapi kontribusi bagi orang lain.
“Hidup hanya sekali. Ketika kita mati, ingin dikenang sebagai apa? Lakukan itu sekarang.”
Kesimpulan
Pernikahan bukanlah tentang menemukan orang yang sempurna, tetapi tentang dua orang yang tidak sempurna belajar saling melengkapi. Seperti kata Oma Cun, kuncinya adalah diam, sabar, dan mengalah — bukan sebagai tanda kelemahan, melainkan bukti kekuatan batin.
“Kita tidak perlu menjadi pasangan yang ideal, cukup menjadi pasangan yang berkomitmen untuk tumbuh bersama.”
Leave a Reply